Sabtu, 25 Juni 2011

Apakah Kita Butuh Psikiater ?

Saya memilih menjadi psikiater bukan tanpa alasan. Ketika kebanyakan teman-teman seangkatan di FKUI lebih memilih menjadi spesialis anak, penyakit dalam, kandungan atau bedah, saya sudah memilih akan menjadi psikiater sejak masa kuliah tingkat dua. Hambatannya saat itu adalah kebingungan orang tua mengapa saya memilih menjadi psikiater yang lebih dikenal dengan sebutan dokternya orang gila.

Lalu kemudian setelah menjadi peserta program pendidikan spesialis saya kemudian memutuskan untuk mengambil sub bidang psikosomatik medis sebagai salah satu bidang psikiatri yang ingin saya perdalam. Hal ini tentunya juga bukan tanpa alasan.

Mari berhitung dengan statistik dan angka untuk memperjelas mengapa saya menjadi psikiater dan mengapa banyak di antara kita sebenarnya membutuhkan psikiater.

1. Jumlah Psikiater di Indonesia masih sedikit

Jumlah psikiater di Indonesia baru berkisar di antara 600an orang tapi tidak lebih dari 650. Data terakhir dikatakan yang terdaftar sebagai psikiater (artinya sudah lulus program pendidikan) adalah sekitar angka 600an. Ini sudah termasuk beberapa psikiater yang tidak praktek sebagai psikiater dan menjadi birokrat atau bekerja di struktural. Ini artinya bila dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang jumlah 250 juta jiwa, maka perbandingan psikiater dan penduduk Indonesia adalah 1 : 416.666. Jika sekitar 1% saja penduduk yang mengalami gangguan kejiwaan, maka ada sekitar 4.166 penduduk yang mengalami gangguan jiwa yang akan dilayani oleh seorang psikiater. Kelihatan sekali pangsa pasar yang besar bukan ? Itu hanya kalau menurut perhitungan kasar karena tentunya ada hal-hal lain yang lain.

2. Keluhan Psikosomatik Paling Banyak Dialami Pasien Dengan Gangguan Jiwa

Pertama yang harus diingat adalah gangguan jiwa itu bukan hanya Skizofrenia atau yang sering disebut Gila saja. Penelitian terakhir Dan Hidayat dkk dari FK UKRIDA mengatakan bahwa pengunjung puskesmas di salah satu kecamatan di Jakarta Barat, 28,5% adalah pasien dengan keluhan gangguan fisik yang sebenarnya didasari oleh gangguan cemas, depresi dan gangguan psikosomatik. Jadi kalau sebagai psikiater yang khusus bergerak di bidang ini, maka pangsa pasarnya akan lebih besar daripada jika hanya bergerak di bidang “mainstream” sebagai psikiater yang identik dengan penanganan kasus-kasus gangguan skizofrenia.

Mengapa Pasien Psikiatri Terkesan Sedikit ?

Pertanyaannya saat ini sekarang adalah, mengapa Psikiater dalam kehidupan sehari-hari di praktek-praktek swasta ataupun RS Umum terlihat pasiennya tidak banyak dan jauh dibandingkan pasien-pasien dari bidang spesialis lain? Padahal data di atas adalah data statistik yang diambil secara lokal maupun dari data WHO.

A. Stigma

Psikiater adalah profesi yang dipenuhi stigma. Tidak hanya di Indonesia bahkan di negara barat yang sudah lebih sadar kesehatan jiwa pun profesi psikiater erat dengan stigma. Stigma Gila (insane, crazy, wacko,mad) adalah hal-hal yang melekat pada diri psikiater. Hal ini membuat pasien yang membutuhkan bantuan psikiater menjadi enggan meminta bantuan. Orang yang ke psikiater dalam masyarakat seringkali diindetikan dengan orang yang lemah atau kurang iman, memalukan keluarga, tidak tahan penderitaan dan hal-hal stigmatis lain. Kondisi ini yang membuat walaupun butuh orang sering takut datang ke psikiater.

B. Tidak Ditanggung Asuransi

Sehat jiwa dan raga, itu kata slogan. Pada kenyataannya asuransi kesehatan tidak pernah mau menanggung kesehatan jiwa seseorang. Selain Jamsostek dan ASKES sosial, hampir semua asuransi swasta tidak menanggung pasien yang datang ke psikiater. Bahkan jika dalam perawatan di rumah sakit, pasien membutuhkan konsultasi psikiater, hal ini bisa berujung tidak ditanggungnya semua biaya perawatan di rumah sakit tersebut, penyebabnya sering dikira bahwa pasien adalah pasien gangguan jiwa dan tidak berhak ditanggung asuransi. Ini salah satu faktor yang membuat teman sejawat pun enggan mengkonsulkan pasien ke psikiater walaupun sangat perlu. Sebagai psikiater yang bergerak di bidang psikosomatik medis, saya mengetahui sekali kalau banyak penyakit medis umum yang dipengaruhi oleh kesehatan jiwa dan sebaliknya. penyakit seperti Diabetes Melitus (penyakit gula), Jantung, Maag (lambung), kulit adalah beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan kesehatan jiwa seseorang. Buruknya kesehatan jiwa dan tidak ditanganinya dengan baik akan membuat kondisi medis umumnya kurang baik hasil keluarannya.

C. Ketakutan Akan Efek Obat

Psikiater sering diidentikan bahkan oleh sejawatnya sendiri sebagai dokter yang ahli memberikan obat-obatan penenang yang dimasukkan dalam golongan obat benzodiazepine (alprazolam, diazepam, lorazepam, estazolam, nitrazepam dll) . Dalam berbagai tulisan saya selalu menekankan bahwa pemberian obat ini bukan tentunya tanpa alasan jelas. Tidak dipungkiri memang ada segelintir dokter psikiater yang sedikit berlebihan memberikan obat penenang tetapi data di WHO mengatakan bahwa 80% peresepan obat-obat penenang dilakukan oleh dokter umum dan dokter spesialis non psikiater. Di praktek sehari-hari pun saya sering mendapatkan kasus-kasus ketergantungan obat penenang akibat salah diresepkan oleh dokter non-psikiater yang tidak mengerti mekanisme obat ini. Obat di dalam praktek psikiatri tentunya diberikan berdasarkan keperluan. Ingat selain obat ada teknik psikoterapi juga yang biasanya mengikuti penatalaksanaan.

Demikian sedikit ulasan saya tentang mengapa psikiater dan pasien psikiatri tidak seperti data yang berbicara.

Salam Sehat Jiwa

Tidak ada komentar: