Sabtu, 16 November 2013

Mengejar Cita Menjadi Psikiater Tingkat Dunia

Mengejar Cita Menjadi Psikiater Tingkat Dunia

REP | 16 November 2013 | 10:01
Oleh : dr.Andri,SpKJ,FAPM (Psikiater, Fellow of Academy of Psychosomatic Medicine)

Siang tadi pukul 13.30 waktu Tucson, Arizona saya telah dikukuhkan menjadi Fellow of Academy of Psychosomatic Medicine dalam upacara sederhana di Ballroom hotel Westin La Paloma di Tucson. Rangkaian acara pengukuhan Fellow dan beberapa Award lainnya memang merupakan acara yang banyak ditunggu oleh banyak peserta terutama karena cara pengukuhan ini adalah ajang memberikan kehormatan yang layak untuk para psikiater yang telah mencapai pencapaian tertentu di bidang Consultation-Liaison Psychiatry/Psychosomatic Medicine.
Acara dibuka oleh Dr.Elizabeth Kunkel yang merupakan Chair of Fellowhip and Award of APM. Dalam kata sambutan awalnya Dr Kunkel mengatakan bahwa pencapaian yang dicapai oleh beberapa rekan pada hari ini semoga bisa menginspirasi teman-teman yang lain dan juga bisa memberikan semangat bagi yang menerima untuk tetap fokus berada di jalur pengabdian di bidang Psychosomatic Medicine.
Saya yang telah mengetahui akan menjadi salah satu penerima kehormatan Fellow of Academy Psychosomatic Medicine telah duduk di depan podium. Para penerima yang berjumlah 37 orang tahun ini telah disediakan tempat duduk di depan podium agar mudah memberikan penghargaan yang dilanjutkan dengan sesi foto. Saya merupakan urutan ke dua yang dipanggil.
Cerita tentang bagaimana proses ini terjadi pernah saya ceritakan di tulisan sebelumnya “Akhirnya Pengakuan Dunia Itu Didapatkan”. Saya berharap apa yang saya capai ini bisa menginspirasi teman-teman dokter, para mahasiswa kedokteran dan masyarakat pada umumnya. Pengakuan ini juga sekaligus kehormatan bagi saya karena saya merupakan orang pertama di Indonesia dan orang ke empat di Asia (tiga lebih dahulunya adalah orang Jepang) yang menerima pengakuan ini. Semoga bisa bermanfaat. Salam Sehat Jiwa
13845705641969781919
Senang dan bangga bisa menerima kehormatan sebagai Fellow of Academy of Psychosomatic Medicine (dok.pribadi)
13845706931245692213
Bersama Dr Elizabeth Kundell yang merupakan Chair of Fellowship of APM
13845708441048891920
Prof Michelle Riba, mentor dan teman yang selalu mendukung. Sama-sama meraih kehormatan sebagai FAPM hari ini (dok.pribadi)

Jumat, 15 November 2013

Butuhkah Kita Terhadap Psikiater?

Oleh : dr.Andri,SpKJ,FAPM (Psikiater)

Saat saya menulis artikel ini saya sedang berada di Tucson, Arizona menghadiri 60thAnnual Meeting Academy of Psychosomatic Medicine (APM). Pagi tadi acara dibuka oleh Dr.James  Rundell sebagai Ketua Panitia dari acara APM ini. Laporan tentang kondisi terakhir organisasi ini dibawakan oleh President of APM, Dr. Wayne Katon. Dr Katon mengatakan sampai saat ini telah terdapat 54 pusat Fellowship Training Psychosomatic Medicine di seluruh Amerika sejak diresmikannya Subspesialis Psychosomatic Medicine ini sebagai subspesialisasi di bawah American Board of Medical Specialty (ABMS) dan American Board of Psychiatry and Neurology (ABPN) tahun 2005.
Dr.Katon juga menyampaikan bahwa peserta pada acara APM yang ke-60 ini berada di atas 700 peserta, naik 20% dari tahun lalu. Jumlah anggota sampai saat ini juga mencapai 900 psikiater dari sekitar 45 ribu psikiater di Amerika. Beberapa pencapaian yang diperoleh oleh anggota APM disebutkan dalam pembukaan acara ini. Dr.Paul Summergard adalah anggota APM yang menjadi President Elect American Psychiatric Association (APA) untuk 2014-2015 sedangkan Dr.Paul Muskin menjadi Program Chair dari kegiatan APM tahun 2014 nanti. Tentunya ini merupakan kebanggaan bagi APM turut berkontribusi di organisasi nasional seperti APA di Amerika Serikat.
Selanjutnya dalam acara Plenary Lecture yang pertama dikatakan oleh Prof Jurgen Unutzer dari University of Washington bahwa tahun 2013 ini aka nada 60 juta warga Amerika yang akan dilindungi oleh asuransi untuk kesehatan jiwanya. Pada kenyataannya di Amerika Serikat sendiri hanya 2 dari 10 orang yang membutuhkan psikiater atau psikolog mempunyai kesempatan untuk melakukan terapi. Lima dari 10 orang menerima terapinya di pelayanan primer. Sekitar 30 juta pasien yang menerima resep antidepresan untuk depresi di pelayanan primer hanya 25% yang mengalami perbaikan. Hal ini berarti semakin dibutuhkannya kolaborasi yang baik antara psikiater dengan dokter di pelayanan primer. Sayangnya pada kenyataan di lapangan, 40 ribu psikiater di Amerika Serikat tinggal di daerah perkotaan dan sisanya sekitar 5000 tinggal di daerah terpencil. Dalam perumpaan oleh pembicara tentang waktu yang dibutuhkan dalam konsultasi dikatakan bahwa Psikiater yang dididik di pendidikan spesialis membutuhkan waktu 50 menit per pasien, akhirnya hanya dapat menyisakan waktu 6 menit bagi pasien jika psikiater bekerja di lingkungan perkotaan dan hanya sekitar 1.5 menit per pasien bagi psikiater yang bekerja di daerah terpencil. Hal ini karena tidak meratanya psikiater yang ada dan kurangnya psikiater itu sendiri dibandingkan dengan populasi penduduk.
Dalam pembicaraan selanjutnya dikatakan apakah yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketimpangan ini. Apakah dengan melatih lebih banyak psikiater? Atau dengan bekerja lebih keras lagi? Atau dengan meningkatkan layanan kesehatan jiwa yang dibantu oleh teknologi termasuk pemanfaatan telemedicine. Sampai saat ini ternyata di Amerika Serikat sendiri menjadi psikiater bukanlah hal yang diminati oleh mahasiswa kedokteran dan dokter yang baru saja lulus dari sekolah kedokteran. Hal yang sama hampir terjadi di banyak tempat di dunia ini.
Bagaimana di Indonesia?
Jika membandingkan dengan di Indonesia tentunya hal tersebut tidak jauh berbeda walaupun pada kenyataannya sangat jauh berbeda. Sampai saat ini jumlah psikiater di Indonesia sendiri belum mencapai 700 psikiater. Lebih dari 200 psikiaternya bekerja di Jakarta dan sisanya di kota-kota besar di Indonesia. Beberapa propinsi di Indonesia bahkan tidak mempunyai psikiater. Jika saja melihat angka kejadian depresi dan gangguan cemas yang bisa mencapai 20% populasi global, maka secara kasar bisa dikatakan bahwa dengan penduduk Indonesia yang anggap saja 230 juta jiwa terjadi ketimpangan yang luar biasa antara psikiater yang ada dengan kebutuhan psikiater di masyarakat.
Tapi apakah kebutuhannya di lapangan tergambar demikian? Ternyata tidak selalu benar. Psikiater yang bekerja di sektor swasta banyak yang praktek sehari-harinya tidak sampai mencapai 30 pasiennya perhari. Tidak semua psikiater yang praktek di Indonesia ternyata dibutuhkan oleh orang-orang yang seharusnya ke psikiater untuk berobat terkait masalah gangguan jiwanya. Kesibukan psikiater lebih terasa jika bekerja di institusi pemerintah seperti di RSJ, RSUD atau di RS Pusat Pendidikan, selain itu kebanyakan psikiater masih kalah jumlah pasiennya dibandingkan spesialisasi lain apalagi spesialisasi 4 besar seperti Penyakit Dalam, Anak, Bedah dan Obstetri Ginekologi. Apakah ini berarti yang membutuhkan psikiater di Indonesi lebih banyak dari golongan menengah bawah dengan asumsi bahwa pasien-pasien yang datang ke RSJ,RSUD atau RS Pusat Pendidikan itu adalah pasien yang demikian.
Saya menjadi berpikir bahwa kebutuhan psikiater secara global yang terlihat dari angka statistik perbandingan jumlah psikiater dengan prevalensi gangguan jiwa secara global ternyata tidak bisa selalu dijadikan patokan di Indonesia. Seorang pasien yang mengalami gangguan kejiwaan di Indonesia tidak selalu akan berobat ke psikiater apalagi berobat di pelayanan primer dengan dokter umum. Banyak dari mereka yang lebih banyak mungkin memilih alternatif pengobatan lain termasuk di antara pengobatan non-medis. Stigma terhadap profesi psikiater dan pasiennya mungkin masih membuat pasien enggan berobat ke psikiater. Lebih jauh lagi stigma ini berpengaruh pada keminatan dokter umum atau mahasiswa kedokteran untuk mengambil spesialisasi psikiater sebagai pilihan pendidikan spesialisasi.
Saya berharap ke depan dengan adanya kesadaran yang lebih baik dengan edukasi kepada masyarakat tentang masalah kesehatan jiwa kebutuhan masyarakat akan psikiater semakin meningkat. Tentunya secara langsung kebutuhan akan psikiater ini membuat pilihan profesi menjadi psikiater juga menjadi lebih banyak. Bagaimanapun menjadi dokter terutama bagi laki-laki adalah pilihan karier yang diharapkan dapat menunjang kehidupan ekonomi keluarganya. Jika contoh yang selalu dilihat mahasiswa kedokteran dan dokter umum adalah psikiater yang kebanyakan sepi pasiennya, siapa yang mau jadi psikiater di Indonesia? Semoga tulisan ini bermanfaat. Sala Sehat Jiwa dari Tucson.

13844798011040312069